JAKARTA – Media Suara Energi bersama Jurist Resia & Co telah menyelenggarakan webinar dengan tajuk “LFP vs Baterai Nikel: Quo Vadis Masa Depan Nikel Indonesia.” Webinar tersebut diselenggarakan pada Senin (5/2/2024), secara daring melalui platform Zoom Meeting.
Webinar tersebut menghadirkan Muhammad Toha, selaku Ketua Bidang Kajian Strategis Pertambangan PERHAPI yang membicarakan Quo Vadis Masa Depan Nikel Indonesia, lalu Raden Sukhyar, selaku Pakar Hilirisasi dan Pendiri Indonesian Institute for Mineral and Metal Industries, yang membicarakan Transformasi Keunggulan Komparatif Nikel, Fahmy Radhi, selaku Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, yang membicarakan Nikel Indonesia di Tengah Persaingan Baterai Listrik, dan Ahmad Redi selaku Ahli Hukum Pertambangan yang menjadi penanggap pada Webinar tersebut.
Dalam Webinar disebutkan bahwa persentase penggunaan nikel akan diperkirakan meningkat pada tahun 2040. Muhammad Toha dalam Webinar menyebutkan, “Kenaikan kebutuhan nikel untuk baterai mobil listrik itu diperkirakan sangat besar. Sehingga secara komposisi diperkirakan tahun 2040 penggunaan nikel untuk baterai itu persentasenya meningkat sangat drastis. Dari 3% saat ini menjadi sekitar 30%,”. Toha melanjutkan, sebenarnya nikel itu pemakaian terbesarnya bukan untuk baterai mobil listrik tetapi untuk stainless steel. Sebanyak 71% dari nikel dunia itu dikonsumsi untuk stainless steel adalah material yang dipakai untuk beragam industri mulai dari industri militer, industri rumah tangga industri kesehatan, industri manufacturing, industri otomotif dan banyak hal.
Selanjutnya, Toha mengatakan, “Kalau dari bukunya, Pak Irwandy Arif mengatakan bahwa nikel saat ini dipakai untuk lebih dari 100.000 produk industri. Jadi, banyak sekali pemakaian nikel Indonesia untuk kebutuhan-kebutuhan atau keseharian kita. Kita pasti akan menemukan nikel di sekeliling kita,”.
Sementara itu, Raden Sukhyar berharap agar Indonesia bisa lebih maju dalam memanfaatkan cadangan komoditas nikel yang jumlahnya banyak di Indonesia. Jangan lagi hanya andil pada sektor hulu, tetapi sudah saatnya juga ikut andil pada sektor hilir. Sukhyar merasa geram dengan kenyataan hari ini bahwa Indonesia belum memiliki perusahaan BUMN maupun swasta yang bisa dijadikan ikon yang mampu memproduksi barang turunan dari bahan baku nikel. “Belum ada competitive advantage yang bisa diperoleh dari nikel, padahal sudah seharusnya bisa membangun value chain yang lebih bagus lagi. Indonesia sudah seharusnya menjadi negara penentu, bukan hanya follower bagi negara maju seperti Cina,” tandas Sukhyar.
Menurut Sukhyar, hal tersebut disebabkan karena belum adanya interkoneksi regulasi di antara lembaga pemerintah. Akibatnya, kebijakan di hulu seringkali tidak sinkron dengan kebijakan di hilir. Sukhyar menganjurkan untuk dilakukannya revisi UU BUMN untuk memberikan peluang bagi BUMN untuk berfungsi sebagai inovator, bukan hanya sekadar perusahaaan yang dipaksa untuk mencari keuntungan.
“Cina sudah melakukan itu. Maka kita butuh reformasi kelembagaan BUMN,” ujar mantan Dirjen Minerba, Kementerian ESDM ini.
Sementara itu, Fahmy Radhy mementingkan pada hilirisasi yang masih membutuhkan evaluasi secara komprehensif. Fahmy mengakui, upaya pemerintah melakukan hilirisasi pada awalnya mendapat penolakan dari asing meskipun penolakan itu dapat diredam dengan baik. Meskipun demikian, hilirisasi, sambung Fahmy, diharapkan tidak hanya mendatangkan keuntungan bagi investor. “Yang terjadi saat ini adalah investor makin sejahtera sedangkan masyarakat kurang merasakan dampaknya. Ini harus diubah menurut saya,” ucap Fahmy.
Sebagai penaggap, Ahmad Redi juga menyoroti pentingnya perhatian pada sejumlah aspek seperti transisi ekonomi, pangan, lingkungan, jika sudah berbicara tentang hilirisasi.
Pasalnya, sambung Redi, jangan sampai booming nikel justru menjadi bumerang bagi masyarakat di sekitar tambang. “Ekonomi di satu daerah penghasil tambang harus tetap terjaga, jangan sampai tidak stabil ketika hasil tambang sudah habis,” katanya. Karenanya, Redi pun mendorong adanya harmonisasi, sinkronisasi, serta koordinasi di semua sektor untuk memperkuat hilirisasi. “Maka dari segi regulasi memang harus ada keberpihakan yang kuat,” katanya.
Adapun webinar ini diikuti lebih dari 200 peserta, baik yang bergabung melalui Zoom Meeting, maupun peserta yang bergabung melalui live streaming youtube. Rekaman webinar ini dapat disaksikan pada kanal Youtube Suara Energi, atau klik pada link berikut.
****